top of page

ARTICLES

ABLEISM : PERSPEKTIF SEBELAH MATA

Oleh: Raisha Fatima, S. Ked


Orang difabel merupakan sekelompok orang dengan disabilitas yang dianggap sangat dimarginalkan di dunia, menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2017. Laporan tersebut juga mengemukakan mereka mempunyai kondisi kesehatan yang lebih buruk, prestasi akademik yang lebih rendah, penerimaan dalam pekerjaan yang lebih rendah dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa disabilitas. Terlepas dari kenyataan tersebut, ketika melihat seseorang yang tidak sama seperti orang pada umumnya, misalnya, tidak mampu melihat atau mendengar sebagaimana mestinya, maka banyak orang berpikir mereka berbeda dan kurang kompeten . Tanpa sadar, sikap demikian termasuk dalam ableism.

Menurut Ontario Human Rights Commission , ableism sederhananya merupakan kepercayaan yang analog dengan rasisme, seksisme atau ageism , yang memandang kaum difabel kurang layak dihormati dan diperhitungkan, kurang mampu berkontribusi dan berpartisipasi, atau kurang bernilai dibandingkan orang lain. Ableism dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan mungkin mengakar dalam institusi, sistem atau budaya masyarakat secara umum. Hal ini dapat membatasi kesempatan orang difabel dan mengurangi keterlibatan mereka di kehidupan sehari-hari dalam lingkungan masyarakat. Standar 'normal' yang sudah umumnya masyarakat tetapkan, menjadi penghalang yang tidak terlihat dalam memaknai 'normal' bagi orang difabel. Apakah memandang orang lain dengan sebelah mata adalah hal yang normal? Apakah setiap manusia harus sama dalam konteks yang sama?


Pemahaman mengenai ableism ini menjadi penting, dengan jumlah orang difabel yang mencapai 15% dari populasi dunia, berdasarkan data yang dikeluarkan WHO tahun 2017. Data tersebut juga menunjukkan orang dewasa yang mengalami kesulitan signifikan dalam menjalani hidupnya sebanyak 110-190 juta jiwa. Tingkat disabilitas diperkirakan meningkat karena penuaan populasi dan pengidap penyakit kronis yang meningkat di dunia. Kemungkinan untuk menjumpai lebih banyak orang difabel sangatlah mungkin, lantas bagaimana kita menyikapinya?


Bila kita memandang secara luas, orang difabel juga membutuhkan hal-hal dasar sebagaimana orang pada umumnya. Hanya saja penampilan fisik mereka yang berbeda. Hal ini terlihat dari penamaannya yang berangsur-angsur berubah. Sebelumnya, julukan orang difabel adalah "penyandang disabilitas", atau bahkan "penyandang cacat", yang berarti orang-orang yang tidak mampu atau disable. Namun seiring berjalannya waktu, penamaan tersebut menjadi difabel, dengan artian, differently abled people . Orang-orang disabilitas dipandang sebagai orang yang mampu dengan kemampuan yang berbeda. Bukan kah "berbeda" itu berarti unik dan istimewa? Sangat disayangkan bila masa sekarang julukan

penyandang disabilitas atau cacat masih membumi tanpa sadar unsur diskriminatif di dalamnya.


Diskriminasi, dalam Konvensi PBB tentang Hak-hak Penyandang Cacat tahun 2006, didefinisikan sebagai setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan atas dasar kecacatan yang berdampak pada peniadaan hak asasi manusia, kebebasan fundamental di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya. Definisi ini mencakup segala bentuk diskriminasi, termasuk menolak memberikan bantuan yang wajar. Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh International Labour Organization dalam 2006-2015, sejumlah bentuk diskriminasi terhadap orang difabel dalam berbagai tahapan siklus pekerjaan adalah hambatan dalam memperoleh pendidikan dan pelatihan, konsentrasi di bidang pekerjaan berketerampilan rendah dengan upah kecil, diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan,

tingkat pengangguran tinggi, pelecehan di tempat kerja dan lainnya yang tidak lepas dari stigma yang mendalam dan asumsi yang salah tentang orang difabel.


Faktanya, WHO menyebutkan pada tahun 2017 bahwa orang-orang difabel mampu hidup dan berpartisipasi dalam komunitas. Sebanyak 40% orang difabel secara umum dapat menjalani kehidupan sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Hal ini membuktikan bahwa mereka bisa melakukan kegiatan kreatif atau lainnya dengan kemampuan yang mereka miliki. Sebagai contoh, Jean Dominique-Bauby, salah seorang jurnalis dan editor majalah mode Elle, mengidap stroke saat berusia 43 tahun yang menjadikannya mengalami locked-in syndrome pada tahun 1995. Kondisi tersebut hanya membuatnya mampu menggerakkan kelopak mata kiri. Namun, dengan bantuan salah satu perawatnya, Claude Mendibil, Jean mencoba untuk menulis buku. Jean mengedip setiap kali Claude menyebutkan alfabet yang Jean maksud. Buku tersebut merupakan hasil dari sekitar 200.000 kedipan, dengan satu kata yang

dihasilkan menghabiskan waktu dua menit. Buku tersebut mengisahkan kehidupannya dengan locked-in syndrome dan sebelum mengidap stroke, yang kemudian diberi judul “ The Diving Bell and The Butterfly ”.


Tidak hanya Jean, Lionel Watts, salah seorang pengidap polio asal Sydney yang mengalami quadriplegia (kelumpuhan keempat anggota gerak). Lionel yang terus mencoba untuk dapat bekerja dan melakukan advokasi terhadap pemerintah terkait orang dengan disabilitas, hingga akhirnya diundang oleh Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon pada 1968. Ia menjadi pelopor dalam membuat izin parkir bagi orang disabilitas, penyediaan akses kursi roda wajib di semua fasilitas publik dan membentuk yayasan bagi orang disabilitas yaitu House with No Steps and The Tipping Foundation yang sekarang dikenal sebagai “Aruma”. Hasil kontribusi positifnya dianugerahi dengan gelar Member of the Order of the British Empire pada 1969.


Kedua contoh tersebut akan lebih sempurna dengan contoh ketiga yaitu Hellen Keller. Wanita yang dikenal dengan buta, tuli dan bisu tersebut (sekarang dianggap bahwa ia menginap Scarlet fever atau meningitis) hanya mampu mengerti sentuhan dan komunikasi dengan isyarat tangan. Berkat bantuan guru pribadinya, Anne Sullivan, Hellen menjadi wanita pertama difabel yang menyandang gelar Bachelor of Arts (B.A).


Sejumlah contoh tersebut seharusnya membuat kaum ableism kembali berpikir, apakah pantas orang difabel dipandang sebelah mata? Seseorang yang hebat mempunyai kemampuannya tersendiri, bukan? Tuhan menciptakan setiap manusia dengan keistimewaannya masing-masing. Perspektif ableism dapat ditumpaskan dengan memahami arti differently abled people sesungguhnya. Selanjutnya, penerapan dukungan untuk orang difabel dapat dilakukan dengan sejumlah tindakan seperti memperhitungkan orang difabel dalam komunitas, tidak memanjakan mereka seakan tidak bisa melakukan apapun, memberi kesempatan kepada mereka untuk mencoba apa yang orang pada umumnya coba, menggunakan diksi yang mudah dipahami, mendukung komunitas difabel dan advokasi untuk penyediaan fasilitas yang ramah terhadap orang difabel. Sampai pada akhirnya, ableism hanya sebatas mempersoalkan kesempatan orang lain yang sebenarnya tidak berbuat salah.


REFERENSI

1. World Health Organization . 2017. 10 facts of Dissability. Dapat diakses melalui

https://www.who.int/features/factfiles/disability/en/#:~:text=Fact%201%3A%20Over

%20a%20billion,increase%20in%20chronic%20health%20conditions .

2. Ontario Human Rights Comission. 2016. Policy on ableism and discrimination based

on . disability. . Dapat . diakses . melalui . http://www.ohrc.on.ca/en/policy-ableism-and-dis

crimination-based-disability

3. Sakroni, Subardhini M. Istilah-istilah Kedisabilitasan. Dapat diakses melalui

https://mediadisabilitas.org/uraian/ind/artikel-11

4. Aruma. Celebrating achievements of people with disabilities . Dapat diakses melalui https://www.aruma.com.au/about-us/blog/celebrating-achievements-of-people-with-di

sabilities/

5. Rohatun, Naim dan Rini Dharmastiti. 2015. Pengembangan Alat Evaluasi Fasilitas

Halte Terhadap Aksesibilitas Bagi Difabel (Studi Kasus: Evaluasi Fasilitas Shelter

Trans Jogja). Yogyakarta. Dapat diakses melalui

http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/90413

Recent Posts
bottom of page