top of page

ARTICLES

Inilah Nasib Kami

Sebuah cerita pendek yang menceritakan kondisi pencari suaka yang disesuaikan.


Kilauan itu sangat terang, memerkah merah dari kejauhan. Aku terbangun dari tidur lelap ku melihat secercah cahaya yang muncul melalui celah-celah jendela kamar ku. “DDUUUUUMMMM” itulah suara sambutan bersama suara jeritan warga perkotaan yang menyambut hari ini. Aku bergegas membangunkan keluarga ku yang kamar nya tak saling berjauhan.


“Hey cepat bangun! Ajak yang lain menyelamatkan diri”, seruan ku pada teman sebaya ku dari rumah susun, yang tak begitu megah namun cukup untuk melindungi kami dari teriknya matahari di siang hari, dan hujan deras di sepanjang hari tapi tempat yang kami anggap rumah ini tidak dapat melindungi kami dari berbagai serangan senjata api dan ledakan bom yang muncul tanpa kami harapkan dan kami duga. Aku tinggal bersama Ibuku yang sedang mengandung adik ku, Ayah? Beliau baru beberapa pekan lalu meninggal dunia karena menghalangi tank-tank didampingi pasukan infanteri yang sangat banyak, mereka datang memasuki perumahan kami. Ayah selalu menyampaikan kalau hidup harus berjuang demi perdamaian tapi nahas nya ayah harus mati karena ingin menjaga perdamaian yang ada.


Pagi ini masih sangat gelap, hanya cahaya rembulan yang terang menerangi pelarian kami menuju tempat aman. Listrik dari perkotaan sudah terputus akibat serangan yang diluncurkan tadi. Aku memapah ibu ku yang tengah hamil, badan ini sangat tidak cocok bila dilihat secara kejauhan untuk memapah Ibu ku tapi tenaga ku sekuat orang dewasa. Kami berjalan menginjakan kaki kami yang gemetaran ke anak tangga dan menuruni secara perlahan. Cahaya senapan serta ledakan tak luput dalam menerangi perjalanan kami dalam menyelamatkan diri.


Rumah susun kami tidak jauh dari bandara, lima belas menit dengan menumpangi mobil warga kota yang melewati perjalanan melalui perkampungan kami. Tujuan kami adalah menuju suatu negara yang jauh lebih aman daripada tempat kami. Rasa ketakutan masih selalu menghantui kami, walaupun kami sudah berada di radius yang cukup jauh dari kejadian ledakan terakhir. Menginap di bandara bukan lah sebuah pilihan yang tepat, akan tetapi kami perlu lakukan itu demi dapat pindah ke negara yang lebih aman.


Pagi harinya kami mendapatkan dua kursi penerbangan ke tempat yang lebih aman, kami berdoa agar sekiranya mendapatkan tempat yang dapat memberikan kami rasa aman dan kepastian. Setelah kami sampai menuju negara yang terbulang aman ini. Kami pun bingung akan tinggal di mana. Uang penginapan tidak akan cukup untuk biaya Ibu melahirkan nanti.


Kami bersama beberapa orang lain memutuskan untuk menetap di pinggiran jalan yang ada, ada beberapa relawan mengatasnamakan organisasi memberikan beberapa bantuan kepada kami, meskipun hanya tersedia terbatas. Namun, dapat membuat hidup kami bertahan.


Tiga tahun berlalu begitu cepat, adik ku sudah terlahir setelah dua bulan kami mengungsi. Kami tertolong oleh salah seorang warga di dekat kami membuat tenda. Sungguh baik budi orang itu semoga tuhan memberikan hal terbaik kepada beliau. Kami? Ya kami bersama beberapa orang yang berasal dari negara yang sama, kami tinggal di pinggiran jalan ini, berlindung di dalam tenda agar tidak tersengat panasnya matahari dan terkena guyuran hujan yang deras. Belum lagi kami harus tergusur karena tempat tersebut dinilai kurang menaati ketertiban umum.


Kami luntang-lantung di pinggir jalan, tidak dapat bekerja maupun bersekolah, serta sulit sekali untuk mendapatkan vaksinasi. Kami sebagai pencari suaka seperti kehilangan arah tanpa kepastian status, kendala berbahasa juga jadi hambatan kami. Sehingga banyak yang dari kami yang merasa putus asa dan terasingkan, bahkan ada yang memutuskan untuk mengakhiri hidup secara tidak baik. Berbagai aksi demonstrasi sudah dilakukan akan tetapi angin segar belum juga kami rasakan.


Tidak hanya kami disini sebagai pencari suaka, tercatat ada lebih dari 82 juta yang bernasib sama seperti kami yang 40 persennya terdiri dari anak-anak seperti aku. Namun, lebih dai 99 negara juga menutup akses bagi kami yang sedang mencari perlindungan internasional akibat pandemi ini. Satu harapan yang aku inginkan, dunia ini berhenti berperang dan tetap menjaga perdamaian di negaranya. Hidup berdamai bersama keluarga yang dicintai di tanah kelahiran sendiri. Kalau seperti ini, kami lah sebagai penanggung imbasnya. kehilangan keluarga, teman, kesempatan belajar, tempat tinggal, dan masih banyak lagi yang kami rasakan. Aku selalu berdoa pada tuhan agar memberikan kami hal yang jauh lebih layak dan segera memberi kepastian untuk menuju negara ketiga. Amin.


Source: https://www.dw.com/id/laporan-unhcr-sebut-lebih-82-juta-pengungsi-di-seluruh-dunia-akhir-2020/a-57948449



Tentang Penulis

Zarfan Fawwaz Muhamad yang akrab disapa Zarfan merupakan member SCORP CIMSA FK USK. Saat ini Zarfan sedang menempuh pendidikan di Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala. Ketertarikan Zarfan terhadap isu-isu kemanusiaan terutama pada pengungsi dan pencari suaka membuatnya sering berkecimpung pada kegiatan-kegiatan kemanusiaan baik di CIMSA maupun di luar CIMSA.

Recent Posts
bottom of page